Berawal dari ide perjalanan ke Eropa, saya dan 3 teman berencana mampir ke pesisir mediterania, tepatnya Amalfi Coast. Terus terang tidak terbayang seperti apa wujud tempat tersebut, bagaimana budayanya, penduduknya dan lain-lain. Jika di tanya ke teman-teman yang pernah ke Eropa, mereka belum pernah mendengar tempat itu bahkan buku Lonely Planet-nya pun tidak ditemui di Jakarta, alhasil kami hanya bisa mencari sumber informasi dari internet saja.
Setelah membulatkan tekad (sebenarnya si lebih ke arah pasrah xixixi) dengan informasi seadanya, kami akhirnya memasukkan Amalfi Coast dan Pulau Capri ke dalam daftar kunjungan kami ke Eropa. Tempat dimana pada awal perjalanan, “mata” kami buta dan tidak tahu banyak mengenai informasi seputar area tersebut hingga akhirnya mata kami tak habis-habis membelalak dan berdecak kagum dengan keindahan dan keunikan daerah tersebut.
Amalfi Coast dan Pulau Capri terletak di pesisir selatan Negara Itali. Letaknya bersebelahan dengan laut Mediterania yang menghubungkan benua Eropa dengan Benua Afrika dan Asia. Amalfi Coast merupakan bagian dari Propinsi Salerno dan ternyata dijadikan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO, kalau Pulau Capri merupakan bagian dari Propinsi Napoli, dengan iklim Mediterania yang hangat, wilayah ini sering dikunjungi oleh turis mancanegara bahkan artis Hollywood untuk menghabiskan waktu berlibur mereka dengan menelusuri pantai serta pulau disekitarnya.
Kami berempat berkunjung pada bulan Mei, saat itu masih musim semi sehingga udaranya tidak terlalu dingin dibanding kota-kota yang ada di tengah daratan Eropa.
Menuju Amalfi kami bertolak dari Roma menaiki kereta. Di sepanjang perjalanan sudah tampak lautan dikejauhan. Hampir di 5 stasiun terakhir yang kami lewati, banyak dermaga-dermaga yang dipenuhi perahu-perahu nelayan, membuat hati kami tak sabar untuk segera tiba dan melihat wujud Amalfi Coast dan pulau Capri.
Siang hari kami tiba di stasiun terakhir Sorento di kota Salerno (jadi ingat orang Padang, kalau bicara hampir semua berakhiran huruf “O” xixixi). Ternyata panas sekaleee, tiba di sana matahari sudah membumbung tinggi di atas kepala kami, mana sinarnya terik banget alhasil kami yang tadinya ber-swater ria dari Roma terpaksa melepas sweater masing-masing, karena selain panas kami jadi terlihat “saltum” alias salah kostum di tengah orang banyak yang rata-rata memakai tank top, kaos oblong dan celana pendek.
Saat keluar dari stasiun terus terang kami bingung mau naik apa ke Amalfi, sebab waktu browsing di Internet banyak informasi yang overlapping, untungnya ada mba-mba baik hati yang menunjukkan kami rute bis yang dimaksud. Walaupun dengan bahasa Inggris yang pas-pasan mba ini dengan antusias membantu kami, dari mulai membawa kami ke loket tiket hingga membelikan kami tiket bis menuju Amalfi, terima kasih ya Mbaaa (duh..maaf lupa nanya nama Mba-nya).
Setelah hampir satu jam menunggu di stasiun, akhirnya bis yang di nanti datang juga. Seperti bis di kota-kota Eropa lainnya, bis ini memakai system ticket swipe di lorongnya, jadi Supir tidak perlu berdiri dan tidak perlu ada kondektur untuk menagih ongkos bis. So…let the journey beginnn…
Saat didalam bis, kami sengaja duduk berpencar agar masing-masing dari kami dapat mengambil foto dari sudut yang berbeda. Kalau saya sengaja duduk di pinggir sebelah kiri agar dapat melihat lautan. Baru 10 menit duduk, sontak alirah darah saya mengalir kencang karena medan yang dilewati bis tersebut sangatlah seraaammm. Alur jalannya yang meliuk-liuk dan naik turun menyusuri tebing yang tinggi dengan laut tepat dibawahnya (sedikit nyesel duduk di pinggir…takut jatoooh euuy), terlebih jika ada mobil lain yang lewat dari arah sebaliknya (hiiiy tutup mata…tapi tetep ambil foto dooong hehehe) dan ditambah pada dua pertiga perjalanan bis tiba-tiba penuh bahkan banyak yang berdiri (alamaaak…serasa melewati jalur barat Sumatera).


Di sepanjang perjalanan banyak sekali pemandangan yang menakjubkan, di kiri saya terbentang lautan luas Mediterania dengan angin dan ombaknya yang menderu-deru tebing-tebing terjal di pinggir pantai, beraneka rupa bangunan berdiri tegak diatasnya dari mulai rumah penduduk, gereja, pasar bahkan taman dan ladang untuk bercocok tanam. Disebelah kanan saya tampak bangunan-bangunan seperti lego berbaris dan berdiri kokoh di bukit berbatu dengan warna-warna beraneka ragam mengingatkan saya akan Santorini di Yunani, hanya bedanya di Santorini semua bangunan berwarna putih.


Kami menginap di Attrani Coast sekitar 1KM dan berada 1 halte sebelum pemberhentian bis berakhir di Amalfi Coast. Sampai di halte kami sontak terbengong-bengong mencari hostel tempat kami menginap, pikir kami…”ini mana hostel-nya ya?”….. pasalnya di depan mata kami hanya ada pantai yang berada dibawah tempat kami berdiri dan bukit dibelakang kami dengan banyak bangunan tanpa papan penunjuk. Ternyata setelah diperhatikan dengan seksama, halte tempat kami turun ini sebenarnya berada di atas jembatan dan untuk menuju ke hostel kami harus turun ke bawah jembatan.

Sambil tergopoh-gopoh memanggul backpack yang nyaris sebesar badan, kami menyusuri puluhan anak tangga sempit yang berkelok-kelok lalu melewati kolong jembatan untuk sampai ke pinggir pantai. Sampai dipinggir pantai penderitaan kami ternyata belum selesai sebab dari pinggir pantai kami harus melewati restoran (yang di siang hari notabene banyak pengunjung sedang makan dan terkaget-kaget melihat kami…hehehe untung ngga keselek), baru kemudian menuju hostel dibelakang restoran sekitar 500 meter kearah bukit dan tentunya naik tangga lagi hehehe.
Hostelnya lumayan luas, pemiliknya ramah sekali dan ganteng pula hehehe, beliau memberikan kami kamar yang besar untuk berempat. Setelah bersih-bersih karena hampir seharian di perjalanan, kami sempatkan bicara dan diskusi dengan pemilik hostel mengenai rencana perjalanan kami esok hari, lalu beristirahat.
Hari kedua di Amalfi, kami hendak mengunjungi pulau Capri, Alhamdulillah cuaca bersahabat. Bangun pagi udara masih dingin sekali, walaupun sudah ada pemanas di dalam kamar, badan menggigil mandipun terpaksa memakai air panas. Setelah berbenah kami turun ke restoran hostel untuk sarapan. Disana kami disuguhi sarapan ala Eropa (ya iyalah kan di Eropa), yakni roti croissant, bun dengan secangkir capucino dan segelas jus jeruk segar disertai jam atau selai dan butter (semua disiapkan langsung oleh si pemilik hotel). Setelah kenyang kami pun pamit dan bertolak ke Pulau Capri.

Untuk menuju Pulau Capri hanya dapat dicapai melalui laut yakni dengan menaiki ferry atau jet foil yang dapat di akses dari dermaga yang ada di Amalfi Coast. Setelah sekitar 30 menit menunggu ferry penuh, perjalanan pun dimulai, kami berempat langsung mengambil seat di dek atas yang memiliki akses penuh melihat pemandangan sekitar. Perlahan ferry melaju menyusuri pesisir pantai, dari sudut laut memandang ke arah pesisir pantai sangatlah mencengangkan. Terlihat bukit-bukit batu yang besar berdiri kokoh dengan villa-vila besar tersebar, sesekali terlihat ada gua diantara perbukitan lalu dibawahnya terdapat terowongan yang dibangun untuk dilalui mobil, bis dan motor, hilir mudik tanpa henti.

Pada menit ke 20, ferry yang kami tumpangi merapat sejenak di Positano untuk menjemput penumpang. Kota ini mirip dengan Amalfi namun lebih rapat bangunan-bangunannya. Pantai di kota ini dipenuhi oleh turis-turis yang sedang berjemur ditambah pemandangan kapal-kapal layar yang sedang berlabuh dari kejauhan. Setelah 5 menit berhenti, ferry pun melanjutkan perjalanan ke Pulau Capri. Sisa perjalanan kami tempuh dengan kondisi yang cukup lengang, karena ferry sudah mulai memasuki perairan terbuka, bukit-bukit amalfi sudah mulai jauh terlihat dibelakang. Matahari sudah mulai berangsur naik, angin laut menerpa wajah dan penumpang yang di dek atas pun satu per satu tertidur, termasuk teman-teman saya.

Akhirnya kurang lebih pada menit ke 60, ferry pun tiba di Pulau Capri. Pemandangan yang nampak adalah lusinan kapal layar, ferry maupun speed boat berbaris rapi di dermaga. Hiruk pikuk orang berjualan cinderamata dan kedai-kedai berseliweran di pinggir pelabuhan. Setelah sampai kami langsung menuju salah satu loket di dermaga, rencananya kami hendak membeli tiket kapal untuk mengunjungi gua yang berada di salah satu sisi pulau yaitu Blue Grotto. Untuk menuju kesana kami harus kembali menaiki kapal karena hanya bisa dicapai melalui air. Informasi yang kami dapatkan air laut didalam gua tersebut memiliki warna yang sangat bagus.

Setelah tiket ditangan kamipun bersiap menuju Blue Grotto. Sekitar 10 menit kami sudah sampai di pinggir gua tersebut. Ternyata gua itu cukup ramai dikunjungi sehingga kami harus antri untuk memasuki gua tersebut. Uniknya gua ini hanya bisa dilalui dengan kapal kecil, dan posisi badan saat masuk gua tidak bisa duduk tegak melainkan menunduk karena mulut gua sangatlah pendek. Sampai didalam gua terlihat warna air biru terang menerangi suasana gua yang gelap seakan-akan ada lampu dibawah air yang meneranginya, padahal air didalam gua sama dengan air diluar gua (sama-sama air laut). Konon di gua tersebut terdapat mineral yang berwarna biru kehijauan (toska) yang dapat menahan sinar yang masuk ke dalam air dan memancarkannya kembali.

Keluar dari gua kami kembali ke kapal besar melanjutkan perjalanan berkeliling pulau Capri. Menurut sumber di Internet, pulau ini hanya seluas 10 KM2, mengitarinya hanya memakan waktu sekitar 1 Jam. Di sekeliling pulau juga banyak di temui mineral yang ada di Blue Grotto karena terlihat dari warna birunya yang terang walau tidak didalam gua. Selain mengitari pulau, kami juga dibawa ke bebatuan besar di tengah laut (batuannya mirip dengan batuan yang ada di James Bond Island, Phuket, Thailand), sambil mengemudikan kapalnya, Nakhoda bercerita jika ada yang berciuman di bawah batuan itu niscaya cintanya akan kekal, alhasil semua penumpang yang membawa pasangannya berciuman (kecuali kami hehehe) ….waduuuuhhh tutup mata aaahhh. Selain cerita mengenai mitos cinta, sang Nakhoda juga bercerita bahwa banyak sekali tokoh-tokoh penting dunia yang mendirikan villa di pulau ini, dari mulai bintang Hollywood seperti Sophia Laurent, Mariah Carey sampai dengan pewaris tahta kerajaan.



Sekitar 1.5 jam tur selesai dan kami kembali ke dermaga di Pulau Capri, hari sudah siang dan saatnya makan. Kamipun mencari tempat strategis untuk makan yang nyaman (kami bawa makanan sendiri lho, selain karena saya Muslim, kita kan backpacker…jadi kami bawa makanan yang sudah kami masak sendiri). Saat sedang menikmati makan siang bersama di sudut dermaga, sesekali kami melirik beberapa orang sedang berlalu lalang, kemana ya mereka…kok sepertinya kearah perairan tapi tidak ada perahu atau kapal bahkan yacht yang bersandar. Setelah selesai makan langsunglah kami menuju tempat tersebut, dan sekali lagi mata kami dicengangkan oleh pemandangan yang Indah.

Ternyata ditempat itu ada pantai dengan air yang jernih sekali. Landscape pantai itu bagus sekali, batu karang disebelang kiri membentang hingga ke pinggir dermaga sehingga seperti menyiratkan tempat untuk menyendiri di pantai ini. Dari kejauhan terbentang air biru tua dan terdegradasi menjadi lebih muda lalu bening seiring perjalanannya menuju bibir pantai. Spontan kami berlarian menuju pantai tersebut untuk merasakan airnya. Wuiiii ternyata air di pinggir pantai dingin dan banyak sekali bertebaran batu karang yang kecil-kecil tetapi licin jika diinjak, pantas tidak ada yang berjemur atau berenang. Orang yang kami lihat sebelumnya hanya duduk menikmati hembusan angin dan berfoto-foto, langsung saja kami ikut-ikutan berfoto-foto.

Setelah asyik berfoto-foto dipinggir pantai tersebut, kamipun kembali ke dermaga untuk berkeliling. Disana banyak sekali grup-grup tur local yang menawarkan jalur trekking hingga ke titik tertinggi di pulau. Selain itu juga ada yang menawarkan penyewaan scooter bagi turis yang ingin berkeliling kota dan ada pula taxi mewah dengan kap terbuka untuk berkeliling. Banyak penduduk di pulau Capri ini yang ternyata tidak tinggal atau menetap, disana. Rata-rata mereka kembali ke Pulau Capri jika sudah mulai musim liburan (musim liburan di sana bisa 2-3 bulan lho), sehingga jika kita datang di musim dingin, kondisi pulau biasanya sepi, tetapi jika di musim panas justru ramai oleh turis. Setelah asyik berkeliling dan tentunya berbelanja, kami pun memutuskan untuk kembali ke Amalfi.


Dengan rute dan lama perjalanan yang sama, kami tiba di Amalfi pada sore hari. Karena hari masih terang, kamipun berkeliling disekitar kota Amalfi. Mirip dengan topografi di Capri ataupun di Atrani, kondisi Amalfi berbukit bukit, setiap beberapa meter selalu bertemu tanjakan dan anak tangga. Saat kami berkeliling kebetulan sedang ada kampanye disana (mungkin sejenis PILKADA kali ya). Mereka menggelar kampanye justru di area turis yang disekitarnya banyak toko-toko souvenir, sehingga selain berbelanja para pelancong juga seperti diberikan “Hiburan” gratis dari pejabat setempat.

Kota Amalfi yang merupakan bagian dari propinsi Salerno, merupakan kota penghasil jeruk lemon. Dimana-mana terdapat pohonnya dan herannya di pinggir dermaga yang hangat pun terdapat pohon tersebut, bahkan banyak souvenir yang menjual berbagai pernak pernik mengenai jeruk limau. Dari mulai magnet kulkas, taplak bergambar jeruk limau, pajangan jeruk limau plastic, aromaterapi dari esens jeruk limau sampai sabun dan parfum dengan wangi jeruk limau.
Setelah puas menelusuri kota Amalfi dan Pulau Capri seharian, pulanglah kami ke hostel, karena esok hari kami harus bertolak ke Negara lain. Di perjalanan asyik kami berdiskusi betapa indahnya pengalaman hari itu, tempat yang tidak di sangka-sangka ternyata memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Daerah itu bener-benar tahu cara mengemas wisata agar terlihat artistic tapi tetap natural. Kami bersyukur bahwa kami berkesempatan menikmati itu semua dan berharap dapat kembali kesana. Akhirnya rasa was-was itupun hilang berbuah senyum dibibir kami.